Halo teman-teman kali ini saya membuat blog yang khusus berisi artikel artikel dhamma Harapan saya artikel yang saya muat dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Kamis, 28 Oktober 2010
Selasa, 12 Oktober 2010
CULASIHANADA SUTTA (11)
Sumber Kutipan : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya I
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha
Penerbit : Proyek Sarana Keagamaan Buddha Departemen Agama RI, 1993
Demikian yang saya dengar.
Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, Anathapindika Arama, Savatthi. Kemudian Sang Bhagava berkata : "Para bhikkhu."
"Ya, Bhante," jawab mereka. Selanjutnya Sang Bhagava berkata: "Para bhikkhu, hanya di sini ada samana, hanya di sini ada samana kedua, hanya di sini ada samana ketiga dan hanya di sini ada samana keempat. Dalam ajaran yang lain tidak ada samana; beginilah hal itu harus diraungkan (sihanada).
(Dalam hal ini, kata samana = sotapanna, samana kedua = sakadagami, samana ketiga = anagami, samana keempat = arahat)
Mungkin para pertapa dari sekte lain bertanya: 'Apakah sebabnya maka anda mengatakan demikian?' Pertanyaan itu harus dijawab: 'Saudara, empat dhamma telah dinyatakan oleh Sang Bhagava, yaitu:
Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, Anathapindika Arama, Savatthi. Kemudian Sang Bhagava berkata : "Para bhikkhu."
"Ya, Bhante," jawab mereka. Selanjutnya Sang Bhagava berkata: "Para bhikkhu, hanya di sini ada samana, hanya di sini ada samana kedua, hanya di sini ada samana ketiga dan hanya di sini ada samana keempat. Dalam ajaran yang lain tidak ada samana; beginilah hal itu harus diraungkan (sihanada).
(Dalam hal ini, kata samana = sotapanna, samana kedua = sakadagami, samana ketiga = anagami, samana keempat = arahat)
Mungkin para pertapa dari sekte lain bertanya: 'Apakah sebabnya maka anda mengatakan demikian?' Pertanyaan itu harus dijawab: 'Saudara, empat dhamma telah dinyatakan oleh Sang Bhagava, yaitu:
1. Kami yakin pada guru (Sang Buddha).
2. Kami yakin kepada Dhamma.
3. Kami memiliki sila yang sempurna.
4. Kami mencintai saudara-saudara pelaksana dhamma (sahadhammika) apakah mereka umat awam atau pabbaja.
Berdasarkan hal-hal itu kami menyatakan begitu.'
Namun, para pertapa dari sekte yang lain dapat berkata: 'Kami juga yakin kepada guru, yaitu guru kami; kepada dhamma yaitu dhamma kami; sila kami sempurna, sesuai dengan sila kami dan kami mencintai saudara-saudara pelaksana dhamma yang hidup sebagai umat awam atau pabbaja. Apakah perbedaannya?'
Hal itu harus dijawab dengan bertanya: 'Apakah tujuannya hanya satu atau banyak?' Mereka akan menjawab dengan benar: 'Tujuan hanya satu.'
'Apakah tujuan itu bebas nafsu, kebencian, kebodohan, keinginan dan kemelekatan?'
'Ya, tujuan itu bebas dari nafsu ... kemelekatan.'
'Apakah tujuan itu disertai penglihatan, tanpa pro dan kontra, maupun perbedaan?'
'Ya, tujuan itu disertai penglihatan, tanpa pro dan kontra, maupun perbedaan,' jawab mereka dengan benar.
Ada dua ditthi (pandangan) yaitu bhava ditthi (pandangan tentang ada makhluk) dan vibhava ditthi (pandangan tanpa ada mahluk).
Namun, para pertapa dari sekte yang lain dapat berkata: 'Kami juga yakin kepada guru, yaitu guru kami; kepada dhamma yaitu dhamma kami; sila kami sempurna, sesuai dengan sila kami dan kami mencintai saudara-saudara pelaksana dhamma yang hidup sebagai umat awam atau pabbaja. Apakah perbedaannya?'
Hal itu harus dijawab dengan bertanya: 'Apakah tujuannya hanya satu atau banyak?' Mereka akan menjawab dengan benar: 'Tujuan hanya satu.'
'Apakah tujuan itu bebas nafsu, kebencian, kebodohan, keinginan dan kemelekatan?'
'Ya, tujuan itu bebas dari nafsu ... kemelekatan.'
'Apakah tujuan itu disertai penglihatan, tanpa pro dan kontra, maupun perbedaan?'
'Ya, tujuan itu disertai penglihatan, tanpa pro dan kontra, maupun perbedaan,' jawab mereka dengan benar.
Ada dua ditthi (pandangan) yaitu bhava ditthi (pandangan tentang ada makhluk) dan vibhava ditthi (pandangan tanpa ada mahluk).
- Para samana atau brahmana yang berpaham bhava ditthi menentang paham vibhava ditthi.
- Para samana atau brahmana yang berpaham vibhava ditthi menentang paham bhava ditthi.
Para samana dan brahmana yang tidak mengerti sebagaimana apa adanya tentang asal mula, lenyapnya, kesenangan, bahaya dan jalan keluar dari dua ditthi (pandangan) itu adalah diliputi oleh nafsu, kebencian, kebodohan, keinginan, kemelekatan, tanpa penglihatan, terlibat dalam pro dan kontra, menyenangi dan menikmati perbedaan. Mereka tidak dapat bebas dari kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, ratap-tangis, kesakitan, duka-cita dan putus asa. Mereka tidak dapat terbebas dari dukkha (penderitaan).
Para samana dan brahmana yang mengerti sebagaimana apa adanya tentang asal mula ... tidak diliputi oleh nafsu ... berpenglihatan, tidak terlibat dalam pro dan kontra, tidak menyenangi dan tidak menikmati perbedaan. Mereka dapat bebas dari kelahiran ... dan putus asa. Mereka dapat terbebas dari dukkha.
Ada empat macam kemelekatan (upadana):
Para samana dan brahmana yang mengerti sebagaimana apa adanya tentang asal mula ... tidak diliputi oleh nafsu ... berpenglihatan, tidak terlibat dalam pro dan kontra, tidak menyenangi dan tidak menikmati perbedaan. Mereka dapat bebas dari kelahiran ... dan putus asa. Mereka dapat terbebas dari dukkha.
Ada empat macam kemelekatan (upadana):
- Kemelekatan pada nafsu indera (kama-upadana).
- Kemelekatan pada pandangan salah (ditthi-upadana).
- Kemelekatan pada upacara dan ritual (silabbata-upadana).
- Kemelekatan pada pandangan adanya jiwa yang kekal (Artavada-upadana).
Ada samana dan brahmana yang menyatakan berpengetahuan jelas tentang semua kemelekatan, tetapi tidak rinci menerangkan 'pengetahuan jelas tentang semua kemelekatan' itu. Mereka menerangkan pengetahuan jelas tentang kemelekatan pada nafsu indera, tetapi tanpa menerangkan tentang kemelekatan pada pandangan salah, kemelekatan pada upacara dan ritual, maupun kemelekatan pada pandangan adanya jiwa yang kekal. Karena mereka itu tidak mengerti dengan jelas sebagaimana apa adanya tentang tiga kemelekatan itu. Akibatnya mereka itu menyatakan berpengetahuan jelas tentang semua kemelekatan, tetapi mereka hanya menerangkan tentang pengetahuan jelas yang berkenaan dengan nafsu indera, tanpa menerangkan tiga kemelekatan yang lain.
Ada pertapa dan brahmana yang menyatakan berpengetahuan jelas tentang semua kemelekatan, ... Mereka menerangkan dengan pengetahuan jelas tentang kemelekatan pada nafsu indera dan kemelekatan pada pandangan salah, tetapi tanpa menerangkan tentang kemelekatan pada upacara dan ritual serta kemelekatan apa pandangan adanya jiwa yang kekal. Karena mereka tidak mengerti ....
Ada pertapa dan brahmana yang menyatakan berpengetahuan jelas tentang semua kemelekatan, ... Mereka menerangkan dengan pengetahuan jelas tentang kemelekatan pada nafsu indera dan kemelekatan pada pandangan salah, tetapi tanpa menerangkan tentang kemelekatan pada upacara dan ritual serta kemelekatan apa pandangan adanya jiwa yang kekal. Karena mereka tidak mengerti ....
Ada pertapa dan brahmana yang menyatakan berpengetahuan jelas tentang semua kemelekatan, ... Mereka menerangkan dengan pengetahuan jelas tentang kemelekatan pada nafsu indera, kemelekatan pada pandangan salah dan kemelekatan pada upacara serta ritual, tetapi tanpa menerangkan tentang kemelekatan pada pandangan adanya jiwa yang kekal. Karena mereka tidak mengerti ....
Dalam 'dhammavinaya' seperti itu adalah biasa menyatakan keyakinan kepada guru dan dhamma, namun tidak terarah dengan benar; pelaksanaan sila sempurna tidak terarah dengan benar; mencintai saudara-saudara pelaksana dhamma yang hidup sebagai umat awam atau pabbaja juga tidak terarah dengan benar. Mengapa demikian? Karena dhammavinaya itu salah diuraikan, salah dinyatakan, tanpa tujuan, tidak mengarah ke kedamaian dan dibabarkan oleh bukan Samma Sambuddha. Ketika Tathagata, Arahat Samma Sambuddha membabarkan pengetahuan jelas tentang semua macam kemelekatan, ia dengan sempurna menguraikan semua macam kemelekatan, yaitu: kemelekatan pada nafsu indera, pada pandangan salah, pada upacara dan ritual serta adanya jiwa yang kekal.
Dalam 'dhammavinaya' seperti itu adalah biasa menyatakan keyakinan kepada guru dan dhamma yang terarah dengan benar, pelaksanaan sila sempurna yang terarah dengan benar, mencintai saudara-saudara pelaksana dhamma yang hidup sebagai umat awam atau pabbaja yang terarah dengan benar. Mengapa demikian? Karena 'dhammavinaya' itu benar diuraikan, benar dinyatakan, bertujuan, mengarah ke kedamaian dan dibabarkan oleh Samma Sambuddha.
Dalam 'dhammavinaya' seperti itu adalah biasa menyatakan keyakinan kepada guru dan dhamma, namun tidak terarah dengan benar; pelaksanaan sila sempurna tidak terarah dengan benar; mencintai saudara-saudara pelaksana dhamma yang hidup sebagai umat awam atau pabbaja juga tidak terarah dengan benar. Mengapa demikian? Karena dhammavinaya itu salah diuraikan, salah dinyatakan, tanpa tujuan, tidak mengarah ke kedamaian dan dibabarkan oleh bukan Samma Sambuddha. Ketika Tathagata, Arahat Samma Sambuddha membabarkan pengetahuan jelas tentang semua macam kemelekatan, ia dengan sempurna menguraikan semua macam kemelekatan, yaitu: kemelekatan pada nafsu indera, pada pandangan salah, pada upacara dan ritual serta adanya jiwa yang kekal.
Dalam 'dhammavinaya' seperti itu adalah biasa menyatakan keyakinan kepada guru dan dhamma yang terarah dengan benar, pelaksanaan sila sempurna yang terarah dengan benar, mencintai saudara-saudara pelaksana dhamma yang hidup sebagai umat awam atau pabbaja yang terarah dengan benar. Mengapa demikian? Karena 'dhammavinaya' itu benar diuraikan, benar dinyatakan, bertujuan, mengarah ke kedamaian dan dibabarkan oleh Samma Sambuddha.
Apakah sumber, asal mula, tempat kelahiran dan yang memproduksi empat kemelekatan?
Empat kemelekatan ini bersumber pada keinginan (tanha), berasal mula dari keinginan, lahir dari keinginan dan diproduksi oleh keinginan.
Empat kemelekatan ini bersumber pada keinginan (tanha), berasal mula dari keinginan, lahir dari keinginan dan diproduksi oleh keinginan.
Apakah sumber keinginan?
Keinginan bersumber dari perasaan (vedana) ... diproduksi oleh perasaan.
Keinginan bersumber dari perasaan (vedana) ... diproduksi oleh perasaan.
Apakah sumber perasaan?
Perasaan bersumber mula dari kontak (phassa) ... diproduksi oleh kontak.
Perasaan bersumber mula dari kontak (phassa) ... diproduksi oleh kontak.
Apakah sumber kontak?
Kontak bersumber dari enam indera (salayatana) ... diproduksi oleh enam indera.
Kontak bersumber dari enam indera (salayatana) ... diproduksi oleh enam indera.
Apakah sumber enam indera?
Enam indera bersumber dari batin dan jasmani (nama-rupa), berasal mula dari batin dan jasmani, dilahirkan oleh batin dan jasmani, serta diproduksi oleh batin dan jasmani.
Enam indera bersumber dari batin dan jasmani (nama-rupa), berasal mula dari batin dan jasmani, dilahirkan oleh batin dan jasmani, serta diproduksi oleh batin dan jasmani.
Apakah sumber batin dan jasmani?
Batin dan jasmani bersumber dari kesadaran (vinnana) ... diproduksi oleh kesadaran.
Batin dan jasmani bersumber dari kesadaran (vinnana) ... diproduksi oleh kesadaran.
Apakah sumber kesadaran?
Kesadaran bersumber dari bentuk-bentuk kamma (sankhara) ... diproduksi oleh fenomena.
Kesadaran bersumber dari bentuk-bentuk kamma (sankhara) ... diproduksi oleh fenomena.
Apakah sumber bentuk-bentuk kamma?
Bentuk-bentuk kamma bersumber dari kebodohan (avijja), ... diproduksi oleh kebodohan.
Bentuk-bentuk kamma bersumber dari kebodohan (avijja), ... diproduksi oleh kebodohan.
Segera setelah kebodohan (avijja) dilenyapkan dan pengetahuan (vijja) muncul, maka ia tidak lagi melekat pada nafsu indera, pandangan salah, pada upacara dan ritual serta pandangan tentang adanya jiwa yang kekal. Ketika tidak ada kemelekatan, maka ia tidak menderita. Ketika ia tidak menderita maka ia mencapai nibbana: kelahiran telah lenyap, kehidupan suci telah dicapai, apa yang harus dikerjakan telah dilaksanakan, tidak ada sesuatu melebihi ini.
Kamis, 30 September 2010
Pentingnya Memiliki Mata Pencaharian Benar
Pekerjaan bebas dari pertentangan
Itulah Berkah Utama
Manggala Sutta
tanpa memiliki apa yang disebut sebagai mata pencaharian benar. Semenjak kita dilahirkan,
keluarga kita sudah seharusnya memiliki mata pencaharian atau penghidupan. Beberapa problem
muncul akibat pentingnya mata pencarian atau penghidupan ini, diantarannya adalah; mata
pencarian tidak melanggar dhamma tetapi tak mampu memenuhi kebutuhan,dan mata pencarian
dapat memenuhi kebutuhan hidup tetapi bertentangan dengan dhamma.
Untuk kasus pertama, dimana mata pencaharian selaras dengan Dhamma, tetapi tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidup memang terkadang terjadi. Untuk kasus ini, tidak lain sulusinya adalah
menambah keterampilan & pengetahuan kita guna meraih mata pencarian yang dapat menyokog
hidup kita dan tetap berselaras dengan dhamma ajaran Sang Buddha. Jangan lupakan juga untuk
menjaga sila (moral) dan melakukan kebajikan, terutama dana. Dana sendiri dapat berupa materi
dan nonmateri. Satu prinsip yang seharusnya dipegang adalah jika kita sudah berusaha keras dan
maksimal, maka tak ada lagi hal yang patut kita sesali. Yang perlu kita lakukan, menambah
kebajikan dan lihatlah peluang dengan cermat dan segera teliti apakah jika kita memanfaatkan
peluang tersebut kita melanggar dhamma atau tidak. Jika melanggar, tolak. Jika tidak, manfaatkan
segera. Jangan terlalu lama menunda, karena biasanya peluang itu akan lewat begitu saja. Jika suatu
usaha menunjukkan prospek yang baik dan sesuai dhamma, tekuni saja semampu kita, jangan
terlalu mudah menyerah, karena bukan tak mungkin usaha tersebut mengantarkan kita pada masa
depan yang cerah.
Untuk kasus, dimana mata pencaharian tidak selaras dengan dhamma tapi dapat memenuhi
kebutuhan hidup, ini memang lebih repot, apalagi si empunya jika sudah berkeluarga. Maka akan
timbul pemikiran “Mengapa saya harus mengganti haluan jika dengan mata pencarian (bisnis) ini
saya mampu menghidupi diri dan keluarga saya. Mata pencarian lain belum tentu dapat memenuhi
kebutuhan saya dan keluarga.”
Perlu diketahui, bahwa agama Buddha mengolongkan 5 jenis mata pencaharian ini sebagai mata
pencaharian tidak benar (menurut Dhamma):
1. Memperdagangkan senjata.
2. Memperdagangkan manusia (budak, anak, pelacur, dan organ tubuh manusia).
3. Memperdagangkan mahkluk hidup.
4. Memperdagangkan minuman keras, narkotika dan obat-obatan berbahaya yang dapat
melemahkan kesadaran dan kewaspadaan.
5. Memperdagangkan racun.
Disamping itu ada beberapa jenis mata pencaharian yang sepatutnya kita hindari karena
tidak sesuai dengan dhamma yaitu; menjualproduk bajakkan/membajak dan menjiplak hasil karya
orang lain (dalam bentuk buku, lagu, film, software dan lain sebagainya termasuk melakukan
pemalsuan), berprofesi sebagai rentenir (pemberi pinjaman uang dengan imbalan bunga tinggi),
dan menjual film, buku, gambar, situs serta content porno.
Sekarang, marilah kita tinjau, mengapa kita sebagai umat Buddha sebaiknya menghindari 5
jenis mata pencaharian tidak benar yang telah disebutkan di atas. Memperdagangkan senjata, kita
tahu, senjata adalah alat untuk melukai orang lain, inilah alasan utama mengapa senjata
sesungguhnya tidak boleh diperdagangkan. Memang ada sebagian orang yang beropini, senjata
adalah alat pertahanan diri, tetapi ini tak dapat dibenarkan, karena faktanya, semakin mudah senjata
diperoleh, semakin banyak tindak kejahatan. Lihat saja pada kasus kepemilikan senjata api, yang
memicu tindak kriminalitas, bahkan kekerasan dalam rumah tangga yang berujung maut.
Memperdagangkan manusia, selain melanggar hukum, kegiatan ini juga bertentangan
dengan dhamma. Karena manusia sesungguhnya mempunyai hak asasi yang sama.
Memperdagangkan manusia berarti memposisikan manusia yang satu lebih rendah dari manusia
yang lain dan mengesploitasi manusia. Perdagangan manusia mengkondisikan manusia yang satu
“Membeli” manusia lain dan memperlakukannya semena-mena. Ini tentu tidak sesuai dengan
dhamma dan mengakibatkan pelakunya menerima buah kamma buruk yang amat berat. Termasuk
memperdagangkan organ tubuh manusia, hal ini melanggar hukum dan sungguh tidak sesuai
dengan Dhamma.
Memperdagangkan mahkluk hidup, sama seperti perdangangan manusia, sesungguhnya
semua mahkluk juga memiliki hak hidup yang sama. Perdagangan mengkondisikan manusia untuk
mengeksploitasi makhluk hidup dan itu bertentangan dengan Dhamma. Apalagi jika makhluk itu
dibunuh untuk dijual daging atau organ tubuh lainnya, kamma buruk pelakunya sungguh berat.
Untuk kita yang gemar melepas makhluk hidup, jangan memesan makhluk yang akan kita lepas
kepada penjual hewan hidup, karena hal ini akan mengkondisikan si penjual hewan hidup
menangkap hewan sebanyak yang kita pesan, bahkan lebih banyak. Hal ini tentu berdampak buruk
dan dapat mennyesarakan makhluk hidup. Kita malah terlibat dalam perdagangan makhluk hidup.
Memperdagangkan minuman keras, narkotika dan obat-obatan berbahaya, sama saja
dengan meracuni dan mendidik masyarakat ke jalan salah. Tidak hanya sampai disitu, dampak dari
minuman keras dan obat-obatan terlarang sungguh amat berbahaya, dan memiliki daya rusak yang
besar. Seseorang yang terpengaruh efek minuman keras dan narkotika dapat melanggar pancasila
Buddhis, sehingga dapat merusak masa depan orang yang bersangkutan sekaligus membahayakan
orang-orang di sekitarnya karena orang yang terpengaruh minuman keras dan narkoba dapat berbuat
kejahatan kapan, dimana, dan kepada siapapun. Sekedar informasi, hampir sebagian besar pecandu
narkoba menemui maut karena “Over dosis” dan sulit bagi mereka untuk keluar dari jeratan
narkoba.
Memperdagangkan racun seperti racun tikus dan serangga, pembasmi hama dan rayap,
juga sebaiknya dihindari karena keberadaan racun itu membahayakan dan dapat merampas hak
hidup makhluk lain. Jadi tetap bertentangan dengan Dhamma.
Menjual/membuat produk bajakkan, memalsu produk karya orang lain, adalah melanggar
hukum dan bukanlah mata pencaharian yang benar menurut Dhamma, karena dapat digolongkan
dalam pelanggaran sila kedua yaiitu pencurian ide/gagasan dan karya cipta orang lain tanpa seijin
pemiliknya.
Bermata pencaharian sebagai rentenir dengan menjual (yang berkedok meminjamkan) dana
dengan bunga tinggi dan tak wajar, sehingga menyengsarakan si pembeli (peminjam) dana yang
karena kesulitan ekonomi terpaksa menerima tawaran sang rentenir. Mata pencaharian ini sungguh
menumbuh-kembangkan keserakahan dan kebencian karena menjanjikan keuntungan yang tidak
wajar dan pasti menindas kaum ekomomi lemah yang tak berdaya. Sangat bertentangan dengan
Dhamma yang mengajarkan kita mengikis keserakahan, kebencian dan kebodohan batin.
Menjual segala produk yang bernuansa pornografi dan porno-aksi berarti sama saja mendidik
masyarakat untuk berbuat asusila dan amoral, tanpa disadari, pornografi juga akan menimbulkan
kecanduan. Sungguh buruk dampaknya terutama bagi remaja dan anak dibawah umur.
Jika sesorang mempunyai mata pencaharian sesuai Dhamma, meski ia belum sejahtera
hidupnya, asalkan ia memiliki sila dan perilaku yang baik, tidak tertutup kemungkinan ia dapat
memiliki kehidupan yang makmur di kemudian hari. Karena kekayaan dunia dapat diperoleh dari
berbagai cara. Misalnya dengan menawarkan produk yang dapat bermanfaat bagi banyak orang,
seperti Bill Gates pendiri Microsoft, dan Linus Torvalds penemu Linux Ubuntu. Atau menjadi
konsultan bisnis, atau bekerja pada suatu perusahaan dan masih banyak cara lain yang sesuai
dhamma yang kita bisa lakukan untuk memperoleh penghasilan yang layak. Tetapi memang itu
semua tidak mudah, apalagi persaingan sudah sangat ketat saat ini. Itulah konsekuensi dari
kehidupan kita sebagai manusia.
Sang Buddha sendiri menegaskan, bahwa pelaksanaan sila yang baik dapat membawa
dampak baik yang amat besar bagi kehidupan kita. Dengan melaksanakan sila dapat berakibat
terlahir di alam surga, dengan melaksanakan sila akan berakibat memiliki kekayaan duniawi dan
dengan pelaksanaan sila juga akan mengakibatkan seseorang dapat mencapai nibbana. Karena itu,
rawatlah sila Anda dengan baik. Pada Jalan Mulia Berunsur Delapan Sang Buddha menyebutkan
mata pencaharian benar sebagai unsur kelima, ini berarti mata pencaharian benar juga merupakan
salah satu faktor pendukug untuk mencapai nibbana, sebab itu, kita sebagai umat Buddha sudah
selayaknya memiliki mata pencaharian benar. Semoga pengetahuan dhamma yang saya tulis kali ini
bermafaat bagi kawan-kawan se-Dhamma
Mettacitena,
Jayanto Wahyu Leman
Penulis
Download PDFnya di
http://www.ziddu.com/download/11893590/PentingnyaMataPencaharianBenar.pdf.html |
Jumat, 02 Juli 2010
Pentingnya Memahami Tilakkhana (Anicca, Dukkha, Anatta)
“O para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul di dunia atau tidak terdapat hukum yang tetap dari
segala sesuatu (dhamma), terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa; “Semua yang
terbentuk adalah tidak kekal.”
“O para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul di dunia atau tidak terdapat hukum yang tetap dari
segala sesuatu (dhamma), terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu bahwa “Semua yang
terbentuk adalah dukkha.”
“O para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul di dunia atau tidak, terdapat hukum yang tetap dari
segala sesuatu (dhamma), terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa; “Segala sesuatu
(dhamma) adalah bukanlah aku.”
Dhammaniyama Sutta
Saudara – saudara se-Dhamma banyak diantara kita yang tanpa kita sadari terhanyut dalam keadaan
dunia, baik suka maupun duka. Padahal jika kita mau jujur, sungguh singkat usia kita di dunia ini.
Amatlah sayang jika kita gunakan untuk termangu meratapi kesedihan atau hanyut dalam kesenangan
dunia. Banyak orang yang berprinsip hanya mengikuti “arus kehidupan” saja. Orang – orang ini yang
dapat digolongkan ke dalam kelompok manusia yang berpasrah diri dan tidak berusaha merubah
dirinya kearah lebih baik. Sebagian lainnya berprinsip “ hidup semaunya gue” karena mereka berpikir
hidup ini sangat singkat dan hanya satu kali, jadi harus dinikmati semaksimal mungkin. Dua prinsip
hidup ini adalah salah. Mereka yang berpandangan dan berprinsip seperti ini akan menderita dan
mengalami kekecewaan yang mendalam suatu saat kelak. Memang hidup ini singkat tetapi ada satu hal
yang mereka lupa, aspek tilakhana, tiga corak kehidupan.
Manusia hidup dalam kondisi yang serba tak pasti, kadang bahagia, sehat, sukses, terkenal; tetapi
kadang kala menderita, sakit, gagal, dan dihina orang. Sebab itulah kita harus senantiasa sadar, mawas
diri dan waspada terhadap semua kondisi dalam hidup ini. Jangan terlena pada kesenangan dan juga
jangan terlarut dalam kesedihan dan kondisi yang tak menyenangkan, karena semua itu hanyalah
sebuah proses yang pasti akan berlalu.
Ada 3 fase waktu dalam satu masa kehidupan. Masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.
Untuk dapat senantiasa hidup bahagia, kita harus hidup pada saat ini, bukan pada masa lalu atau masa
yang akan datang. Kita harus menaruh perhatian kita pada detik ini. Kitapun harus senantiasa
menyadari bahwa apapun kondisi yang terjadi dalam hidup ini, semuanya adalah sebuah proses yang
hanya bersifat sementara. Jadi tak ada alasan bagi kita untuk melekatinya, apalagi menjadi takabur
dan sombong karena kesuksesan kita sekarang.
Saat hal – hal yang menyenangkan dan membuat kita bahagia muncul, sadarilah “Semua akan berlalu.”
Demikian juga saat hal – hal yang menyedihkan dan mengecewakan kita muncul, kitapun tidak boleh
hanyut dalam suasana tersebut dan sadarilah bahwa “Inipun akan berlalu.” Proses ketidakekalan inilah
yang dinamakan anicca.
Sifat kedua yang menjadi hal yang dibicarakan pada bahasan tilakkhana adalah dukkha. Dukkha
didefinisikan sebagai semua hal yang tidak memuaskan. Apapun yang kita alami baik kondisi yang
menyenangkan maupun yang mengecewakan semuanya adalah tidak memuaskan. Oleh karenanya
agama Buddha mengajarkan kepada kita untuk bijaksana dalam melihat dan menghadapi kondisi
tersebut. Kita tidak dianjurkan untuk menjadi seseorang yang perfeksionis, yang menuntut segala
sesuatu sempurna sesuai harapannya, hal itu tidak akan dapat dicapai karena sifat dari segala sesuatu di
dunia ini adalah tidak memuaskan.
Sifat ketiga dari segala sesuatu adalah anatta. Anatta diartikan sebagai “bukan aku.” Segala sesuatu itu
berproses tanpa dapat kita kendalikan. Maksudnya adalah segala sesuatu berproses secara alamiah
tanpa ada yang dapat menghentikan atau mengaturnya, siapapun kita. Contoh yang paling mudah
adalah usia tua dan kematian. Siapapun kita, usia tua dan kematian akan datang tanpa pandang bulu.
Kalau begitu, apa yang kita dapat lakukan? Ada beberapa cara untuk menghadapinya, tetapi hal
pertama yang seharusnya dilakukan adalah menyadari dan menerimanya dengan lapang dada. Kita
dapat usahakan agar usia tua dapat dilalui dengan lebih baik, seperti banyak berbuat baik dan menjaga
pola hidup, dan membiasakan diri untuk menabung agar saat usia tua datang kita tetap sehat dan dapat
melakukan kegiatan yang bermanfaat. Sama halnya dengan kematian, kita dapat melakukan kebajikan
agar usia kita lebih panjang, kalaupun kita meninggal, kita meninggal dengan keadaan tenang dan
bahagia. Bukan dalam kondisi tragis dan menakutkan.
Jadi pada intinya kita dapat memperbaiki kondisi yang kita alami bukan dengan cara menghentikannya
tetapi kita dapat melakukan banyak kebajikan agar kondisi baik yang terjadi pada kita dapat bertahan
lebih lama. Namun yang perlu diingat, kondisi baik itu pasti akan berlalu cepat atau lambat. Jadi kita
harus dapat menerimanya dengan bijak.
Artikel ini juga dapat dibaca dalam versi PDF agar lebih nyaman dibaca. Klik link ini untuk mendownload versi PDF - nya:
Salam Metta,
Wahyu Leman
Penulis
segala sesuatu (dhamma), terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa; “Semua yang
terbentuk adalah tidak kekal.”
“O para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul di dunia atau tidak terdapat hukum yang tetap dari
segala sesuatu (dhamma), terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu bahwa “Semua yang
terbentuk adalah dukkha.”
“O para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul di dunia atau tidak, terdapat hukum yang tetap dari
segala sesuatu (dhamma), terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa; “Segala sesuatu
(dhamma) adalah bukanlah aku.”
Dhammaniyama Sutta
Saudara – saudara se-Dhamma banyak diantara kita yang tanpa kita sadari terhanyut dalam keadaan
dunia, baik suka maupun duka. Padahal jika kita mau jujur, sungguh singkat usia kita di dunia ini.
Amatlah sayang jika kita gunakan untuk termangu meratapi kesedihan atau hanyut dalam kesenangan
dunia. Banyak orang yang berprinsip hanya mengikuti “arus kehidupan” saja. Orang – orang ini yang
dapat digolongkan ke dalam kelompok manusia yang berpasrah diri dan tidak berusaha merubah
dirinya kearah lebih baik. Sebagian lainnya berprinsip “ hidup semaunya gue” karena mereka berpikir
hidup ini sangat singkat dan hanya satu kali, jadi harus dinikmati semaksimal mungkin. Dua prinsip
hidup ini adalah salah. Mereka yang berpandangan dan berprinsip seperti ini akan menderita dan
mengalami kekecewaan yang mendalam suatu saat kelak. Memang hidup ini singkat tetapi ada satu hal
yang mereka lupa, aspek tilakhana, tiga corak kehidupan.
Manusia hidup dalam kondisi yang serba tak pasti, kadang bahagia, sehat, sukses, terkenal; tetapi
kadang kala menderita, sakit, gagal, dan dihina orang. Sebab itulah kita harus senantiasa sadar, mawas
diri dan waspada terhadap semua kondisi dalam hidup ini. Jangan terlena pada kesenangan dan juga
jangan terlarut dalam kesedihan dan kondisi yang tak menyenangkan, karena semua itu hanyalah
sebuah proses yang pasti akan berlalu.
Ada 3 fase waktu dalam satu masa kehidupan. Masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.
Untuk dapat senantiasa hidup bahagia, kita harus hidup pada saat ini, bukan pada masa lalu atau masa
yang akan datang. Kita harus menaruh perhatian kita pada detik ini. Kitapun harus senantiasa
menyadari bahwa apapun kondisi yang terjadi dalam hidup ini, semuanya adalah sebuah proses yang
hanya bersifat sementara. Jadi tak ada alasan bagi kita untuk melekatinya, apalagi menjadi takabur
dan sombong karena kesuksesan kita sekarang.
Saat hal – hal yang menyenangkan dan membuat kita bahagia muncul, sadarilah “Semua akan berlalu.”
Demikian juga saat hal – hal yang menyedihkan dan mengecewakan kita muncul, kitapun tidak boleh
hanyut dalam suasana tersebut dan sadarilah bahwa “Inipun akan berlalu.” Proses ketidakekalan inilah
yang dinamakan anicca.
Sifat kedua yang menjadi hal yang dibicarakan pada bahasan tilakkhana adalah dukkha. Dukkha
didefinisikan sebagai semua hal yang tidak memuaskan. Apapun yang kita alami baik kondisi yang
menyenangkan maupun yang mengecewakan semuanya adalah tidak memuaskan. Oleh karenanya
agama Buddha mengajarkan kepada kita untuk bijaksana dalam melihat dan menghadapi kondisi
tersebut. Kita tidak dianjurkan untuk menjadi seseorang yang perfeksionis, yang menuntut segala
sesuatu sempurna sesuai harapannya, hal itu tidak akan dapat dicapai karena sifat dari segala sesuatu di
dunia ini adalah tidak memuaskan.
Sifat ketiga dari segala sesuatu adalah anatta. Anatta diartikan sebagai “bukan aku.” Segala sesuatu itu
berproses tanpa dapat kita kendalikan. Maksudnya adalah segala sesuatu berproses secara alamiah
tanpa ada yang dapat menghentikan atau mengaturnya, siapapun kita. Contoh yang paling mudah
adalah usia tua dan kematian. Siapapun kita, usia tua dan kematian akan datang tanpa pandang bulu.
Kalau begitu, apa yang kita dapat lakukan? Ada beberapa cara untuk menghadapinya, tetapi hal
pertama yang seharusnya dilakukan adalah menyadari dan menerimanya dengan lapang dada. Kita
dapat usahakan agar usia tua dapat dilalui dengan lebih baik, seperti banyak berbuat baik dan menjaga
pola hidup, dan membiasakan diri untuk menabung agar saat usia tua datang kita tetap sehat dan dapat
melakukan kegiatan yang bermanfaat. Sama halnya dengan kematian, kita dapat melakukan kebajikan
agar usia kita lebih panjang, kalaupun kita meninggal, kita meninggal dengan keadaan tenang dan
bahagia. Bukan dalam kondisi tragis dan menakutkan.
Jadi pada intinya kita dapat memperbaiki kondisi yang kita alami bukan dengan cara menghentikannya
tetapi kita dapat melakukan banyak kebajikan agar kondisi baik yang terjadi pada kita dapat bertahan
lebih lama. Namun yang perlu diingat, kondisi baik itu pasti akan berlalu cepat atau lambat. Jadi kita
harus dapat menerimanya dengan bijak.
Artikel ini juga dapat dibaca dalam versi PDF agar lebih nyaman dibaca. Klik link ini untuk mendownload versi PDF - nya:
http://www.ziddu.com/download/10529214/PentingnyaMemahamiTilakhana.pdf.html |
Salam Metta,
Wahyu Leman
Penulis
Jumat, 28 Mei 2010
Modernisasi Mengikis Kesabaran
Siapapun yang tidak marah ketika ia disiksa, dihina, dipukul dan dipenjara.
Dengan kekuatan kesabaran sebagai kekuatan dan pasukannya.
Orang seperti itu Aku sebut brahmana sejati.
Dhammapada – Brahmana Vagga ayat 399
Ia yang terbebas dari amarah; dengan tekun melaksanakan kewajiban agama, selalu sadar, selalu tekun berbuat kebajikan, penuh pengendalian diri. Maka kelahiran ini adalah kelahiran terakhir, karena ia telah memutus lingkaran tumimbal lahirnya. Orang seperti itu Aku sebut brahmana sejati.
Dhamapada – Brahmana Vagga ayat 400
Di era modern saat ini, kita senantiasa dituntut untuk selalu bekerja cepat dalam melakukan berbagai hal. Karena kini orang berkeinginan untuk dapat menyelesaikan sesuatu dalam hitungan detik, khususnya untuk kegiatan transaksi elektronik. Bahkan semua transaksi ini dapat dilakukan tanpa harus keluar rumah, cukup dengan satu sentuhan jari. Semua ini terjadi karena dukungan teknologi terutama teknologi informasi. Tetapi sadarkah kita, kemajuan ini membawa dampak yang buruk jika kita tidak berhati – hati menyikapinya? Kemajuan teknologi memang membawa banyak keuntungan bagi kita, mempermudah aktivitas kita, mempercepat pengiriman informasi dan banyak manfaat lainnya. Namun dampak negatifnya juga ada. Terkikisnya kesabaran dan keuletan pada batin kita.
Marilah kita lihat contoh kasus sederhana yang bisa kita jumpai dalam kehidupan sehari – hari. Ketika kita mengirim pesan sms atau email, kemudian satu menit, dua menit, 15 menit, setengah jam tidak ada sahutan dari pihak penerima pesan, lalu apa yang kita lakukan? Kita sudah mulai berkeluh – kesah, berusaha menelepon tapi tak kunjung diterima. Kita menjadi kesal dan jengkel. Padahal pihak penerima ternyata sedang berada di jalan dan tidak memungkinkan membaca pesan atau menerima panggilan telepon dari kita. Kita baru dapat berkomunikasi dengannya beberapa jam kemudian, sementara kita sudah marah dan jengkel. Tentu saja sikap kita ini dapat mengganggu bahkan merusak hubungan kita dengan orang tersebut. Padahal jika kita mau bersabar menunggu beberapa jam saja tentu hubungan kita dengan orang tersebut tidak akan menjadi buruk. Lagipula, jika kita ingat pada jaman dulu orang berkomunikasi menggunakan media surat menyurat yang membutuhkan waktu lebih lama untuk berkomunukasi sedikitnya 3 hari sampai 1 minggu.
Jika bersabar untuk kondisi seperti itu saja tidak bisa, bagaimana dapat menerapkan kesabaran untuk hal yang lebih berat seperti sabar jika mendapatkan teguran/caci maki dari orang lain. Padahal hal ini sangat penting, untuk kemajuan diri kita sendiri. Hal lain yang menuntut kesabaran kita adalah kondisi – kondisi tertentu misalnya saat tubuh kita sakit, kondisi pasang surut usaha, kondisi ekonomi keluarga yang buruk dan lain sebagainya. Lalu bagaimana cara efektif untuk melatih kesabaran?
- Ketahui dan pahamilah bahwa semua hal yang cepat belum tentu baik.
Kecepatan memang baik untuk beberapa hal, tetapi untuk beberapa kasus ketergesaan membawa dampak buruk. Contoh kasus dapat kita lihat dalam proses belajar, mana lebih baik pelatihan yang ditempuh selama 3 hari dengan yang ditempuh selama 3 bulan? Tentu pelatihan selama 3 bulan akan memberi hasil yang lebih baik. Apa sebabnya? Karena dalam pelatihan lama proses dan intensitas pengulangan memegang peranan penting. Semakin lama proses pelatihan (tentunya dalam kurun waktu tertentu) dan semakin sering intensitas pengulangan akan memberikan dampak yang semakin baik untuk sebuah program pelatihan. Kita harus membiasakan diri untuk menikmati proses suatu aktivitas dibandingkan dengan keinginan untuk mencapai dan segera melihat hasil dari aktivitas yang kita lakukan. Tetapi bukan berarti Anda sengaja memperlambat dan bermalas – malasan dalam berkegiatan. Nikmatilah proses kegiatan itu secara wajar, tanpa kita perlambat atau percepat proses kegiatan itu. Hal ini juga akan menanamkan budaya senang bekerja dan dapat menumbuhkan semangat juang yang tinggi.
- Cobalah menjadi pribadi yang tenang dan tidak mudah panik.
Saat kita menghadapi suatu masalah yang biasanya relatif serius, usahakan untuk tidak panik, lihatlah masalah tersebut dengan tenang dan seksama. Janganlah mudah panik, karena biasanya saat pikiran kalut, kita tidak bisa memandang masalah secara utuh dan benar. Tenanglah, lakukan identifikasi masalah dengan teliti. Kemudian carilah sebab masalah tersebut. Barulah kita mencari solusi masalah berdasarkan pada sebab masalahnya. Pilihlah alternatif solusi yang terbaik (yang paling kecil resikonya), dan bersabarlah dengan proses penyelesaian masalah tersebut.
- Berupayalah untuk selalu tenang dan sabar saat menerima teguran
Saat menerima teguran atau cacian apalagi yang datang secara tiba – tiba tak terduga bahkan dihadapan banyak orang atau teman – teman kita, biasanya kita terpancing marah dan membalas cacian tersebut. Hal ini dianggap wajar oleh sebagian kalangan masyarakat. Padahal sikap seperti ini adalah sangat buruk dan perlu dihindari. Saat menerima teguran dan cacian hal yang patut kita lakukan adalah berusaha untuk menenangkan diri dan merenung, lakukan instropeksi diri dan bertanya kepada diri kita sendiri, atas kesalahan apa kita ditegur dan dicaci maki? Jika kita tidak menemukan kesalahan kita, tanyakan pada orang yang menegur kita atas dasar apa dia menegur atau mencaci maki kita. Perbaiki kesalahan tersebut segera. Jadikan hal ini sebagai mementum perbaikkan diri. Jika ia tidak dapat mengemukakan alasan yang jelas, jelaskan padanya bahwa kita tidak melakukan kesalahan apapun yang menyebabkan kita pantas dimarahi. Terimalah cacian itu sebagai buah dari kamma (perbuatan) buruk yang pernah kita lakukan pada kehidupan lampau sebelum kehidupan ini. Jangan pernah berniat untuk melakukan pembalasan. Ingatlah bahwa akibat dari perbuatan, tidak akan mungkin tertukar baik atau buruk, pasti itu adalah hasil dari perbuatan kita, bukan perbuatan orang lain. Jika kita ingin membalas, dan memendam dendam setelah kita dicaci maki atau ditegur (sekalipun dihadapan banyak orang), berarti kita menanam bibit perbuatan buruk yang baru lagi dan itu siap untuk berbuah pada masa yang akan datang.
Ada beberapa kondisi lain yang memgharuskan kita untuk bersabar dan bersikap tenang. Krisis ekonomi keluarga, sakit yang berkepanjangan, kenakalan anak – anak kita dan masih banyak lagi. Namun satu hal yang kita harus ingat bahwa semua itu hanyalah proses; ada awal, ada puncaknya dan ada pula akhirnya. Kita tentu ingin mengupayakan agar masalah dapat kita akhiri dengan baik. Karenanya tetaplah berusaha untuk tenang, tidak panik, lihat masalah dengan jelas, cari penyebabnya dan carilah jalan untuk melenyapkan/mengatasi penyebabnya. Karena seberat apapun masalah akan selesai jika penyebabnya dilenyapkan/diatasi. Memang ada beberapa masalah yang penyebabnya tidak dapat kita atasi, hanya waktu yang menyelesaikannya nanti. Butuh kedawasaan yang matang untuk kasus yang satu ini. Lakukan diskusi atau konsultasi secara privat kepada orang – orang yang kita anggap tepat untuk meringankan beban di bathin kita, misal, para bhikkhu atau pandita atau orang – orang yang pernah mengalami masalah yang sama dengan kita. Pilihlah alternatif penyelesaian yang terbaik atas masalah yang kita hadapi tersebut. Semoga artikel ini dapat membawa manfaat dan membantu membimbing Anda dalam menyelesaikan masalah yang Anda hadapi demi mencapai kamajuan diri Anda dan kita semua.
Juga dapat didownload di
Juga dapat didownload di
Jayanto Wahyu Leman
Penulis
Kamis, 13 Mei 2010
Terlahir Di Tempat yang Sesuai Adalah Sebuah Berkah
Hidup di tempat yang sesuai
Berkat timbunan jasa – jasa baik dalam kehidupan yang lampau
Menuntun diri ke arah yang benar
Itulah Berkah Utama
Manggala Sutta
Terlahir sebagai manusia adalah hal yang sangat sulit, apalagi lahir di tempat yang sesuai, sungguh amatlah sulit. Tetapi bukan berarti tidak mungkin terjadi. Jika suatu mahkluk memiliki cukup kamma baik dalam kehidupan sebelumnya, maka mahkluk tersebut dapat terlahir di alam manusia, bahkan di tempat yang baik dan sesuai (menurut dhamma). Apakah yang dimaksud hidup di tempat yang sesuai menurut dhamma?
- Terlahir pada keluarga yang baik dan bijaksana
Dalam kehidupan nyata, kita sering melihat seorang bayi yang terlahir di sebuah keluarga yang hidup dibawah garis kemiskinan, menderita kelaparan dan gizi buruk. Ada pula bayi yang terlahir di keluarga yang tidak menginginkan kelahirannya, akhirnya bukan ranjang dan kasur empuk yang menantinya, melainkan tong sampah yang siap menampungnya, atau ia dibesarkan dalam kondisi yang sangat menderita, penuh siksaan dan bahkan tidak mengenyam pendidikan. Pada kasus lain kita melihat fakta yang baru – baru ini terkuak yakni diketemukannya kasus balita perokok, memperihatinkan sekali. Hal ini terjadi karena salah pola asuh orang tua dan pergaulan yang buruk pada lingkungan keluarga. Lalu, bagaimana yang dimaksud keluarga yang baik dan bijaksana itu? Marilah kita mencontoh keluarga guru agung kita Sang Buddha. Beliau terlahir di tengah keluarga yang sangat baik dan bijaksana, di lingkungan kerajaan Kapilavastu yang dipimpin raja yang bijaksana yang tak lain adalah ayah Beliau sendiri. Beliau mendapat pendidikan dan keterampilan yang sangat baik. Bahkan orang tuanya memilihkan calon istri yang terbaik untuk Beliau. Inilah contoh keluarga yang ideal. Tentu sulit, tetapi paling tidak kita terlahir keluarga yang sejahtera, memiliki orang tua yang bijak dan mencintai kita sudah merupakan berkah yang utama dan patut disyukuri. Orang tua yang bijaksana adalah orang tua yang mampu; mencegah anaknya berbuat jahat/buruk/tak berguna, mendorong anaknya berbuat baik/berguna, memberikan pendidikan(moril dan sprituil) dan keterampilan yang cukup untuk bekal masa depannya, membimbing anaknya untuk mendapat pasangan hidup yang baik dan mewariskan kekayaan (materil dan moril) tepat pada waktunya.
2. Terlahir dan berada pada lingkungan yang baik
Lingkungan di sekitar tempat tinggal, sekolah atau tempat kerja, juga membawa pengaruh cukup besar bagi kita. Jika orang – orang di lingkungan sekitar kita tak berprilaku baik, kitapun bisa ikut berprilaku tak baik dan sebaliknya. Setidaknya kita harus berada di tengah – tengah orang yang bermoral baik. Lingkungan yang baik juga seharusnya “menawarkan” kesempatan untuk meraih mata pencarian yang sesuai dengan dhamma, yang dapat memenuhi kebutuhan hidup kita sehari – hari.
3. Berada pada wilayah geografis yang baik, jauh dari bencana alam dan wabah penyakit.
Sungguh memprihatinkan kondisi para korban gempa bumi besar seperti di Aceh, Padang atau di mancanegara seperti di Haiti. Mereka tinggal di tempat – tempat pengungsian, kekurangan sandang dan pangan dan kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Hidup dalam kondisi sanitasi yang buruk, dan terserang wabah penyakit. Maka berbahagialah kita yang hidup di lingkungan geografis yang baik jauh dari bencana alam dan wabah penyakit. Karena tak satupun orang yang ingin terlahir pada wilayah geografis yang rawan bencana dan terjangkit wabah penyakit, tetapi apa daya, terkadang mereka tak dapat berbuat banyak. Marilah kita senantiasa menanam kebajikan agar dapat terlahir di alam dan kondisi yang baik pada kelahiran yang akan datang, untuk masa sekarang, marilah kita bertekad setelah berbuat jasa – jasa baik, “Semoga saya tidak berada di tempat kejadian saat bencana dan kondisi buruk lainnya terjadi.” Dengan demikian semoga kita senantiasa terhindar dari bencana dan malapetaka lainnya.
Lalu bagaimana kita seharusnya menyikapi kondisi baik yang kita terima dalam kelahiran sekarang? Kita seharusnya memanfaatkan kondisi baik yang kita terima dengan mengisi hidup kita dengan perbuatan baik dan mengembakannya serta menuntun diri maju dalam Buddha Dhamma, agar pada kelahiran mendatang kita tetap berada pada kondisi baik dan berbahagia, bahkan lebih baik dari sekarang.
Link download artikel:
http://www.ziddu.com/download/9842361/TerlahirDiTempatyangSesuaiAdalahSebuahBerkah.pdf.html
http://www.ziddu.com/download/9842361/TerlahirDiTempatyangSesuaiAdalahSebuahBerkah.pdf.html
Salam Metta,
Jayanto Wahyu Leman
Penulis
Selasa, 11 Mei 2010
Kalyanamitta, Perlukah “Memilikinya?”
“Tidak bergaul dengan orang yang tidak bijaksana
Bergaul dengan mereka yang bijaksana
Itulah berkah utama
Mangala Sutta
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, yang senantiasa membutuhkan manusia dan makhluk lain di alam sekitarnya. Untuk itu saya merasa perlu mengajak saudara – saudari untuk mengetahui lebih jauh mengenai cara menilai seorang sahabat apakah ia sahabat yang baik atau buruk. Mengingat manusia membutuhkan teman bicara yang baik dalam hidupnya. Dalam agama Buddha sahabat yang baik diistilahkan dengan kalyanamitta.
Saat seseorang dalam kondisi down, ia membutuhkan seorang sahabat yang mampu mendengarkan masalahnya dengan baik, memberikan nasehat dan solusi yang terbaik baginya dan juga memotivasinya agar tidak pesimis dan putus asa dalam menjalani kehidupan. Seorang sahabat yang baik biasanya juga dapat menumbuhkan rasa percaya diri kita sebagai sahabatnya.
Sang Buddha pernah memberikan kriteria sahabat yang baik yang dapat menuntun kita kearah yang lebih baik dan maju dalam dhamma. Beberapa kriteria tersebut antara lain adalah; memiliki pandangan yang benar, mempunyai perilaku yang baik, ia datang pada saat kita membutuhkan kehadirannya, ia dapat menjaga rahasia kita sebagai sahabatnya, ia memberikan nasehat untuk kebaikkan kita dan ia bersimpati atas keberhasilan yang kita peroleh.
Pandangan (paradigma) adalah hal penting yang dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Jika seseorang memiliki pandangan yang salah, maka ia dapat memiliki mata pencarian yang salah atau mengambil keputusan yang salah atas masalah yang ia hadapi. Ia juga dapat mempengaruhi orang lain untuk berpandangan salah juga. Sebab itu Sang Buddha berpesan agar kita bergaul dengan orang bijaksana dan jangan bergaul pada orang yang tidak bijaksana. Maksud orang tidak bijaksana disini bukan orang yang bodoh, tetapi orang yang berpandangan salah. Sedangkan orang bijaksana adalah mereka yang memiliki pandangan benar sesuai dhamma. Jika kita memiliki sahabat yang berpandangan benar, saat kita menghadapi masalah berat yang tak dapat diselesaikan oleh kita sendiri, sahabat tersebut akan berupaya memberikan solusi atas masalah yang kita hadapi tersebut sesuai dengan dhamma. Sehingga masalah tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Sebaliknya jika sahabat kita memiliki pandangan salah, maka ia dapat memberikan solusi penyelesaian yang salah pula sehingga bukannya masalah kita terselesaikan, malah menimbulkan masalah baru yang lebih pelik.
Perilaku juga merupakan aspek penting yang perlu dinilai dengan hati – hati dari seorang sahabat, jika tidak, dapat berdampak serius. Sahabat yang baik seharusnya dapat melindungi harta benda milik sahabatnya. Ia juga harus mampu bersikap jujur dan terus terang terhadap kita sebagai sahabatnya. Namun memang setiap orang memiliki privasi yang harus kita hormati, khususnya untuk hal – hal yang bersifat sangat pribadi. Satu hal yang patut kita ingat, bahwa kita tak dapat menuntut orang yang baru kita kenal untuk bercerita dan berbagi banyak hal kepada kita, karena biasanya seseorang tidak berani mengambil resiko pergaulan yang terlalu tinggi dengan menceritakan banyak hal dalam kehidupannya pada orang lain yang baru dikenalnya. Seseorang biasanya membutuhkan waktu kurang lebih 6 bulan sampai satu tahun untuk memulai persahabatan dengan orang lain. Ingatlah untuk tidak mudah percaya pada kata – kata orang lain meskipun ia adalah sahabat baik kita. Selalu berusaha untuk mencari tahu dari sumber lain yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya atau buktikanlah sendiri. Lihatlah perilakunya sehari – hari apakah ia dapat menjalankan pancasila Buddhis dengan baik dalam kehidupannya. Observasi dapat dilakukan selama tiga bulan jika kita bergaul intensif dengan orang tersebut, jika tidak, observasi dapat dilakukan selama satu hingga tiga tahun.
Kadang kala kita mengundang sahabat, kolega, atau relasi kita saat mengadakan pesta, jamuan makan atau acara reuni. Tentu banyak sahabat, kolega atau relasi kita yang menyempatkan diri datang ke acara yang kita adakan. Tetapi jika kita sedang berduka, tertimpa musibah, atau sakit biasanya hanya sahabat dekat kita yang datang menyempatkan diri datang mengunjungi kita. Bagaimana dengan yang lainnya? Mereka biasanya tidak hadir dengan berbagai macam alasan. Sahabat yang baik adalah mereka yang datang pada saat kita berduka, sedih dan membutuhkan dukungan moril, bukan hanya pada saat kita bersuka cita. Bahkan mungkin seorang kalyanamitta tidak dapat hadir saat kita bersuka cita, ia hanya mengirim sebuah pesan berisi ucapan selamat melalui layanan pesan singkat atau akun Facebook, tetapi ia selalu datang saat kita berduka dan membutuhkan kehadirannya.
Saat kita berada dalam kesulitan, terkadang kita perlu berbagi kepada sahabat. Saat berbagi, mungkin ada hal – hal yang sepatutnya tidak diceritakan kepada pihak – pihak lain yang tidak berkepentingan bahkan berbahaya bila jatuh pada pihak yang nakal. Sahabat yang baik akan menjaga semua hal yang patut dirahasiakan agar tidak bocor pada pihak lain. Hal ini juga menuntut pelaksanaan sila seorang sahabat khususnya sila keempat, berkenaan dengan kebiasaan bergosip. Seorang sahabat baik harus mengendalikan ucapannya, menghindari diri dari kebiasaan bergosip agar rahasia kita tidak bocor.
Sahabat juga mempunyai peran untuk memotivasi bahkan menuntun kita ke arah lebih baik, ia seharusnya menunjukkan arah agar kita memiliki kemajuan dalam suatu bidang tertentu, bersedia membimbing kita dalam mencapai kemajuan tersebut dengan sabar. Tetapi sebagian orang mungkin berpikir, sungguh sangat sulit mencari kalyanamitta seperti ini. Memang semua ini tak luput dari pengaruh kusala kamma vipaka yang ditanam oleh kita pada kelahiran yang lampau. Untuk diketahui bahwa tidak semua kriteria ini harus dipenuhi oleh seorang kalyanamitta. Pada kebanyakkan kasus, seorang kalyanamitta hanya dapat memenuhi satu atau dua kriteria saja, tidak mengapa, yang terpenting ia harus memiliki pandangan benar sesuai dhamma dan memiliki sila yang baik.
Kriteria terakhir yang akan kita bahas adalah seorang kalyanamitta harus mampu bersimpati dan turut berbahagia atas keberhasilan yang kita raih. Kebanyakkan orang, malah merasa iri bahkan ingin menghancurkan keberhasilan yang diraih oleh orang lain. Jika hal ini terjadi, akibatnya sungguh berbahaya, sebab itu, berhati – hatilah menilai dan memilih sahabat, jika kita salah dalam menilai dan menjatuhkan pilihan, kita dapat dikhianati dan tertipu oleh sahabat palsu.
Mengingat sungguh sangat sulit untuk menemukan sahabat baik nan sejati, maka amatlah beruntung jika kita telah memilikinya. Tak cukup sampai di situ, kitapun sudah selayaknya “menjaga” dan merawat hubungan kita dengan sahabat baik yang kita miliki. Bagaimana caranya? Kita harus berusaha untuk memenuhi kriteria sahabat yang baik terhadapnya. Jadi kita harus menjadi manusia yang aktif, tidak hanya pasif menerima pertolongannya saja. Fondasi utama dari hubungan persahabatan ini adalah sila dan samma dithi (pandangan benar). Persahabatan bisa runtuh dan hancur jika 2 fondasi utama ini tidak dijaga dengan baik oleh kedua belah pihak. Faktor lainnya adalah kekuatan kamma kolektif (bersama) antara kita dan sahabat kita tersebut. Kesimpulan akhirnya adalah marilah kita menjaga dan merawat hubungan baik kita dengan kalyanamitta yang kita punya dengan tidak melupakan 2 fondasi utama penopang persahabatan serta senantiasa menambah kamma baik agar persahabatan bertahan lebih lama. Sebab bagaimanapun juga peran seorang kalyanamitta amatlah diperlukan dalam kehidupan kita. Tetapi jangan lupa, bahwa tidak ada yang kekal dialam semesta. Hubungan persahabatan kita hanya dapat bertahan hingga satu masa tertentu, karenannya, jangan terlalu melekatinya. Berusahalah untuk selalu aktif bergaul dan mencari kalyanamitta baru.
Link download:
Link download:
http://www.ziddu.com/download/9842842/KalyanamittaPerlukahMemilikinya.pdf.html
Jayanto Wahyu Leman
Penulis
Jayanto Wahyu Leman
Penulis
Senin, 10 Mei 2010
Milikilah Rasa Puas Pada Diri Anda
Merasa Puas, Mudah Disokong
Tiada Sibuk, Sederhana Hidupnya
Tenang Inderanya, Berhati Hati
Tahu Malu, Tak Melekat Pada Keluarga (yang bersifat khusus/tertentu)
KARANĪYAMETTA SUTTA
Tanpa disadari, manusia memiliki nafsu keinginan yang teramat besar. Ribuan bahkan jutaan keinginan kita ciptakan di setiap saat terus menerus silih berganti. Lambat laun jika kita tidak dapat mengendalikan nafsu keinginan tersebut, kita akan dikendalikan oleh nafsu keinginan. Akibatnya? Sudah tentu kita menjadi orang yang tak dapat mensyukuri keadaan bahkan menjadi manusia serakah dan tidak tahu diri. Maksudnya kita menjadi manusia yang tidak dapat mengukur antara kemampuan dan kondisi yang kita “miliki” dengan keinginan yang kita ingin capai. Kemampuan tak sebanding dengan keinginan. Jika nafsu keinginan itu terus diikuti, manusia akan kehilangan kebijaksanaan dan akal sehatnya. Demi mencapai keinginannya, apapun akan dilakukannya walau secara wajar ia tidak dapat mencapainya, ia akan berusaha mencapainya dengan cara yang tidak wajar dan salah.
Banyak kasus dalam kehidupan sehari – hari yang dapat kita jadikan contoh mengenai hal ini. Tetapi bukan untuk ditiru tentunya. Ada sebagian orang, karena mereka ingin berhasil dalam usahanya maka mereka pergi ke tempat “kramat” lalu meminta “penglaris usaha” pada makhluk jahat tertentu. Makhluk jahat itu menyetujui, dengan satu syarat, meminta “tumbal” manusia. Jika orang itu menyetujui demi mendapat “penglaris usaha” maka baik secara langsung maupun tak langsung orang itu telah melanggar sila pertama Pancasila Buddhis, melakukan pembunuhan makhluk hidup apalagi manusia. Pada kasus lain seorang pegawai jika tak puas dengan gaji yang diperolehnya maka ia bisa saja melakukan tindakkan menyimpang penggelapan dana tertentu misalnya. Dalam kehidupan berumah tangga juga sama. Jika salah satu pihak tak dapat mengendalikan nafsu keinginannya, baik suami atau istri akan berakibat perselingkuhan dan merusak rumah tangga yang dibangun. Bahkan ada sebuah penelitian mengatakan bahwa perselingkuhan terjadi cukup banyak terjadi pada usia pasangan 40-50 tahunan yang mayoritas dilakukan oleh kaum suami yang tak puas terhadap istrinya.
Ini sungguh memprihatinkan. Jika perceraian terjadi akibat perselingkuhan, disamping kita menyakiti perasaan pasangan kita, tanpa kita sadari anak – anak kita juga menderita bahkan terlantar karena ulah kita. Jadi kita membuat kamma buruk dobel. Betapa berat buah perbuatan buruk yang kita petik nantinya. Tentunya ini tidak akan terjadi jika kita dapat setidaknya mengendalikan nafsu keinginan yang kita miliki dan selalu berjalan sesuai dhamma. Kita seharusnya selalu sadar, mawas diri dan selalu bersyukur terhadap apa yang kita miliki dan kita capai saat ini. Jika hal ini kita lakukan, kecil kemungkinan kita menjadi serakah dan tak tahu diri. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah nafsu keinginan yang tak terkendali diantaranya:
ü Mengerti dan pahamilah bahwa segala sesuatu yang Anda dapatkan tidak lain merupakan hasil dari perbuatan Anda sendiri baik di masa kini maupun kelahiran sebelumnya.
Yakinlah apa yang Anda dapat raih sekarang adalah hasil perbuatan Anda sendiri dan tak mungkin tertukar. Dengan demikian Anda akan merasa puas dan lega karena mengerti dan memahaminya semua itu merupakan “tanaman” Anda sendiri. Jika Anda kurang puas dengan apa yang Anda terima sekarang, perbaikkilah perbuatan Anda agar di masa datang Anda menikmati akibat yang lebih baik. Bukan malah melakukan cara yang salah dan tidak wajar yang tentunya menghasilkan akibat yang tidak baik lagi di masa datang.
ü Yakinlah bahwa pelaksana sila (aturan kemoralan) akan mendapatkan kebahagiaan dan kekayaan duniawi dan memperoleh kemudahan dalam pencapaian Nibbana.
Dengan melaksanakan sila akan berakibat terlahir di alam surga, dengan melaksanakan sila akan berakibat diperolehnya kekayaan duniawi, dengan melaksanakan sila akan berakibat tercapainya Nibbana (kebebasan mutlak). Bila kita merenungkan kalimat – kalimat ini maka kita senantiasa termotivasi untuk menjaga sila kita sebaik mungkin. Meskipun perlu diketahui bahwa tercapainya Nibbana bukan hanya karena pelaksanaan sila, namun sila yang sempurna menjadi fondasi awal untuk mencapai Nibbana. Mengapa? Karena sila yang baik akan menunjang pencapaian konsentrasi yang amat dibutuhkan dalam meditasi pandangan terang untuk mencapai Nibbana.
ü Laksanakanlah meditasi pandangan terang
Nah untuk yang satu ini, saya sarankan Anda untuk mengikuti kelas – kelas meditasi di vihara yang terdekat dari tempat tinggal Anda. Sebab meditasi pandangan terang ini amat sulit dilatih tanpa seorang tutor pembimbing meditasi. Meditasi pandangan terang ini sudah dibuktikan sendiri oleh Guru Agung kita dapat melenyapkan nafsu keinginan sehingga tercapailah tingkat – tingkat kesucian dan dapat merealisasi Nibbana. Hati – hati ada banyak sekali jenis praktek meditasi, bahkan ada yang dapat berdampak negatif bagi pelaksananya.
Merasa puas berarti juga dapat menerima kondisi hidup apa adanya tanpa kegelisahan, keluh kesah dan muka yang masam. Menerima kondisi hidup dengan senang hati. Bagaimanapun juga kondisinya. Ini sangat sulit untuk dilakukan bagi sebagian besar manusia. Tetapi jika dapat dilakukan maka manusia tersebut akan mengalami ketenangan dan kebahagiaan yang luar biasa tak tergoyahkan.
Mudah disokong, berarti kita mudah dilayani oleh orang lain, tidak banyak menuntut orang lain, dapat memaklumi kekurangan dari kondisi yang serba tidak sempurna. Jauh dari sifat perfeksionisme, tidak menuntut fasilitas ekstra bahkan memberikan fasilitas ekstra tesebut jika ia punya pada orang lain yang lebih membutuhkan fasilitas ekstra tersebut.
Tiada sibuk, sederhana hidupnya. Tenang inderanya, berhati –hati, tahu malu, tak melekat pada keluarga (yang bersifat khusus). Orang yang tak terlalu sibuk (tetapi bukan orang yang tak punya kesibukan), biasanya lebih sabar menghadapi sesuatu hal. Hidup sederhana, tidak berlebihan dan berhura – hura (tetapi bukan hidup dengan kekikiran), tenang inderanya dalam arti selalu menjaga inderanya dengan penuh kewaspadaan, selalu sadar, mencegah kekhilafan, berhati – hati selalu menjaga tindak – tanduk dan prilakunya agar tidak menyimpang dari kebenaran. Memiliki rasa malu dan takut untuk berbuat jahat. Dan tidak melekat pada keluarga tertentu, maksudnya tidak melakukan diskriminasi terhadap keluarga tertentu hanya karena keluarga tersebut memberi sesuatu yang spesial kepadanya sehingga ia lebih mengistimewakan keluarga tersebut dibanding dengan keluarga lain. Aturan ini sebenarnya diutamakan untuk para bhikkhu/bhikkhuni agar tak melekat dan lebih mengutamakan suatu keluarga dibandingkan keluarga/umat lain. Contoh idealnya adalah para bhikkhu sangha.
Setidaknya kita berusaha untuk mengendalikan nafsu keinginan dengan berupaya menjaga tindak tanduk kita agar sesuai Pancasila Buddhis. Hal berikutnya adalah berusaha memahami dan mengerti bahwa segala sesuatu adalah hasil perbuatan kita sendiri baik di kelahiran lampau maupun kelahiran kita yang sekarang.
Inilah akhir dari artikel dhamma yang saya tulis. Semoga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari – hari dan dapat menambah kebijaksanaan dan pemahaman kita terhadap Buddha – Dhamma.
Link download artikel:
Jayanto Wahyu Leman
Penulis
Langganan:
Postingan (Atom)