Jumat, 28 Mei 2010

Modernisasi Mengikis Kesabaran



Siapapun yang tidak marah ketika ia disiksa, dihina, dipukul dan dipenjara.
Dengan kekuatan kesabaran sebagai kekuatan dan pasukannya.
Orang seperti itu Aku sebut brahmana sejati.
Dhammapada – Brahmana Vagga ayat 399
Ia yang terbebas dari amarah; dengan tekun melaksanakan kewajiban agama, selalu sadar, selalu tekun berbuat kebajikan, penuh pengendalian diri. Maka kelahiran ini adalah kelahiran terakhir, karena ia telah memutus lingkaran tumimbal lahirnya. Orang seperti itu Aku sebut brahmana sejati.
Dhamapada – Brahmana Vagga ayat 400
            Di era modern saat ini, kita senantiasa dituntut untuk selalu bekerja cepat dalam melakukan berbagai hal. Karena kini orang berkeinginan untuk dapat menyelesaikan sesuatu dalam hitungan detik, khususnya untuk kegiatan transaksi elektronik. Bahkan semua transaksi ini dapat dilakukan tanpa harus keluar rumah, cukup dengan satu sentuhan jari. Semua ini terjadi karena dukungan teknologi terutama teknologi informasi. Tetapi sadarkah kita, kemajuan ini membawa dampak yang buruk jika kita tidak berhati – hati menyikapinya? Kemajuan teknologi memang membawa banyak keuntungan bagi kita, mempermudah aktivitas kita, mempercepat pengiriman informasi dan banyak manfaat lainnya. Namun dampak negatifnya juga ada. Terkikisnya kesabaran dan keuletan pada batin kita.
            Marilah kita lihat contoh kasus sederhana yang bisa kita jumpai dalam kehidupan sehari – hari. Ketika kita mengirim pesan sms atau email, kemudian satu menit, dua menit, 15 menit, setengah jam tidak ada sahutan dari pihak penerima pesan, lalu apa yang kita lakukan? Kita sudah mulai berkeluh – kesah, berusaha menelepon tapi tak kunjung diterima. Kita menjadi kesal dan jengkel. Padahal pihak penerima ternyata sedang berada di jalan dan tidak memungkinkan membaca pesan atau menerima panggilan telepon dari kita. Kita baru dapat berkomunikasi dengannya beberapa jam kemudian, sementara kita sudah marah dan jengkel. Tentu saja sikap kita ini dapat mengganggu bahkan merusak hubungan kita dengan orang tersebut. Padahal jika kita mau bersabar menunggu beberapa jam saja tentu hubungan kita dengan orang tersebut tidak akan menjadi buruk. Lagipula, jika kita ingat pada jaman dulu orang berkomunikasi menggunakan media surat menyurat yang membutuhkan waktu lebih lama untuk berkomunukasi sedikitnya 3 hari sampai 1 minggu.
            Jika bersabar untuk kondisi seperti itu saja tidak bisa, bagaimana dapat  menerapkan kesabaran untuk hal yang lebih berat seperti sabar jika mendapatkan teguran/caci maki dari orang lain. Padahal hal ini sangat penting, untuk kemajuan diri kita sendiri. Hal lain yang menuntut kesabaran kita adalah kondisi – kondisi  tertentu misalnya saat tubuh kita sakit, kondisi pasang surut usaha, kondisi ekonomi keluarga yang buruk dan lain sebagainya. Lalu bagaimana cara efektif untuk melatih kesabaran?
  1. Ketahui dan pahamilah bahwa semua hal yang cepat belum tentu baik.
Kecepatan memang baik untuk beberapa hal, tetapi untuk beberapa kasus ketergesaan membawa dampak buruk. Contoh kasus dapat kita lihat dalam proses belajar, mana lebih baik pelatihan yang ditempuh selama 3 hari dengan yang ditempuh selama 3 bulan? Tentu pelatihan selama 3 bulan akan memberi hasil yang lebih baik. Apa sebabnya? Karena dalam pelatihan lama proses dan intensitas pengulangan memegang peranan penting. Semakin lama proses pelatihan (tentunya dalam kurun waktu tertentu) dan semakin sering intensitas pengulangan akan memberikan dampak yang semakin baik untuk sebuah program pelatihan. Kita harus membiasakan diri untuk menikmati proses suatu aktivitas dibandingkan dengan keinginan untuk mencapai dan segera melihat hasil dari aktivitas yang kita lakukan. Tetapi bukan berarti Anda sengaja memperlambat dan bermalas – malasan dalam berkegiatan. Nikmatilah proses kegiatan itu secara wajar, tanpa kita perlambat atau percepat proses kegiatan itu. Hal ini juga akan menanamkan budaya senang bekerja dan dapat menumbuhkan semangat juang yang tinggi.
  1. Cobalah menjadi pribadi yang tenang dan tidak mudah panik.
Saat kita menghadapi suatu masalah yang biasanya relatif serius, usahakan untuk tidak panik, lihatlah masalah tersebut dengan tenang dan seksama. Janganlah mudah panik, karena biasanya saat pikiran kalut, kita tidak bisa memandang masalah secara utuh dan benar. Tenanglah, lakukan identifikasi masalah dengan teliti. Kemudian carilah sebab masalah tersebut. Barulah kita mencari solusi masalah berdasarkan pada sebab masalahnya. Pilihlah alternatif solusi yang terbaik (yang paling kecil resikonya), dan bersabarlah dengan proses penyelesaian masalah tersebut.
  1. Berupayalah untuk selalu tenang dan sabar saat menerima teguran
Saat menerima teguran atau cacian apalagi yang datang secara tiba – tiba tak terduga bahkan dihadapan banyak orang atau teman – teman kita, biasanya kita terpancing marah dan membalas cacian tersebut. Hal ini dianggap wajar oleh sebagian kalangan masyarakat. Padahal sikap seperti ini adalah sangat buruk dan perlu dihindari. Saat menerima teguran dan cacian hal yang patut kita lakukan adalah berusaha untuk menenangkan diri dan merenung, lakukan instropeksi diri dan bertanya kepada diri kita sendiri, atas kesalahan apa kita ditegur dan dicaci maki? Jika kita tidak menemukan kesalahan kita, tanyakan pada orang yang menegur kita atas dasar apa dia menegur atau mencaci maki kita. Perbaiki kesalahan tersebut segera. Jadikan hal ini sebagai mementum perbaikkan diri. Jika ia tidak dapat mengemukakan alasan yang jelas, jelaskan padanya bahwa kita tidak melakukan kesalahan apapun yang menyebabkan kita pantas dimarahi. Terimalah cacian itu sebagai buah dari kamma (perbuatan) buruk yang pernah kita lakukan pada kehidupan lampau sebelum kehidupan ini. Jangan pernah berniat untuk melakukan pembalasan. Ingatlah bahwa akibat dari perbuatan, tidak akan mungkin tertukar baik atau buruk, pasti itu adalah hasil dari perbuatan kita, bukan perbuatan orang lain. Jika kita ingin membalas,  dan memendam dendam  setelah kita dicaci maki atau ditegur (sekalipun dihadapan banyak orang), berarti kita menanam bibit perbuatan buruk yang baru lagi dan itu siap untuk berbuah pada masa yang akan datang.
            Ada beberapa kondisi lain yang memgharuskan kita untuk bersabar dan bersikap tenang. Krisis ekonomi keluarga, sakit yang berkepanjangan, kenakalan anak – anak kita dan masih banyak lagi. Namun satu hal yang kita harus ingat bahwa semua itu hanyalah proses; ada awal, ada puncaknya dan ada pula akhirnya. Kita tentu ingin mengupayakan agar masalah dapat kita akhiri dengan baik. Karenanya tetaplah berusaha untuk tenang, tidak panik, lihat masalah dengan jelas, cari penyebabnya dan carilah jalan untuk melenyapkan/mengatasi penyebabnya. Karena seberat apapun masalah akan selesai jika penyebabnya dilenyapkan/diatasi. Memang ada beberapa masalah yang penyebabnya tidak dapat kita atasi, hanya waktu yang menyelesaikannya nanti. Butuh kedawasaan yang matang untuk kasus yang satu ini. Lakukan diskusi atau konsultasi secara privat kepada orang – orang yang kita anggap tepat untuk meringankan  beban di bathin kita, misal, para bhikkhu atau pandita atau orang – orang yang pernah mengalami masalah yang sama dengan kita. Pilihlah alternatif penyelesaian yang terbaik atas masalah yang kita hadapi tersebut. Semoga artikel ini dapat membawa manfaat dan membantu membimbing Anda dalam menyelesaikan masalah yang Anda hadapi demi mencapai kamajuan diri Anda dan kita semua.

Juga dapat didownload di

Jayanto Wahyu Leman
Penulis

Kamis, 13 Mei 2010

Terlahir Di Tempat yang Sesuai Adalah Sebuah Berkah


Hidup di tempat yang sesuai
Berkat timbunan jasa – jasa baik dalam kehidupan yang lampau
Menuntun diri ke arah yang benar
Itulah Berkah Utama
Manggala Sutta

Terlahir sebagai manusia adalah hal yang sangat sulit, apalagi lahir di tempat yang sesuai, sungguh amatlah sulit. Tetapi bukan berarti tidak mungkin terjadi. Jika suatu mahkluk memiliki cukup kamma baik dalam kehidupan sebelumnya, maka mahkluk tersebut dapat terlahir di alam manusia, bahkan di tempat yang baik dan sesuai (menurut dhamma). Apakah yang dimaksud hidup di tempat yang sesuai menurut dhamma?
  1. Terlahir pada keluarga yang baik dan bijaksana
      Dalam kehidupan nyata, kita sering melihat seorang bayi yang terlahir di sebuah keluarga yang hidup dibawah garis kemiskinan, menderita kelaparan dan gizi buruk. Ada pula bayi yang terlahir di keluarga yang tidak menginginkan kelahirannya, akhirnya bukan ranjang dan kasur empuk yang menantinya, melainkan tong sampah yang siap menampungnya, atau ia dibesarkan dalam kondisi yang sangat menderita, penuh siksaan dan bahkan tidak mengenyam pendidikan. Pada kasus lain kita melihat fakta yang baru – baru ini terkuak yakni diketemukannya kasus balita perokok, memperihatinkan sekali. Hal ini terjadi karena salah pola asuh orang tua dan pergaulan yang buruk pada lingkungan keluarga. Lalu, bagaimana yang dimaksud keluarga yang baik dan bijaksana itu? Marilah kita mencontoh keluarga guru agung kita Sang Buddha. Beliau terlahir di tengah keluarga yang sangat baik dan bijaksana, di lingkungan kerajaan Kapilavastu yang dipimpin raja yang bijaksana yang tak lain adalah ayah Beliau sendiri. Beliau mendapat pendidikan dan keterampilan yang sangat baik. Bahkan orang tuanya memilihkan calon istri yang terbaik untuk Beliau. Inilah contoh keluarga yang ideal. Tentu sulit, tetapi paling tidak kita terlahir keluarga yang sejahtera, memiliki orang tua yang bijak dan mencintai kita sudah merupakan berkah yang utama dan patut disyukuri. Orang tua yang bijaksana adalah orang tua yang mampu; mencegah anaknya berbuat jahat/buruk/tak berguna, mendorong anaknya berbuat baik/berguna, memberikan pendidikan(moril dan sprituil) dan keterampilan yang cukup untuk bekal masa depannya, membimbing anaknya untuk mendapat pasangan hidup yang baik dan mewariskan kekayaan (materil dan moril) tepat pada waktunya.
2.      Terlahir dan berada pada lingkungan yang baik
          Lingkungan di sekitar tempat tinggal, sekolah atau tempat kerja, juga membawa pengaruh cukup besar bagi kita. Jika orang – orang di lingkungan sekitar kita tak berprilaku baik, kitapun bisa ikut berprilaku tak baik dan sebaliknya. Setidaknya kita harus berada di tengah – tengah orang yang bermoral baik. Lingkungan yang baik juga seharusnya “menawarkan” kesempatan untuk meraih mata pencarian yang sesuai dengan dhamma, yang dapat memenuhi kebutuhan hidup kita sehari – hari.
3.      Berada pada wilayah geografis yang baik, jauh dari bencana alam dan wabah penyakit.
       Sungguh memprihatinkan kondisi para korban gempa bumi besar seperti di Aceh, Padang atau di mancanegara seperti di Haiti. Mereka tinggal di tempat – tempat pengungsian, kekurangan sandang dan pangan dan kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Hidup dalam kondisi sanitasi yang buruk, dan terserang wabah penyakit. Maka berbahagialah kita yang hidup di lingkungan geografis yang baik jauh dari bencana alam dan wabah penyakit. Karena tak satupun orang yang ingin terlahir pada wilayah geografis yang rawan bencana dan terjangkit wabah penyakit, tetapi apa daya, terkadang mereka tak dapat berbuat banyak. Marilah kita senantiasa menanam kebajikan agar dapat terlahir di alam dan kondisi yang baik pada kelahiran yang akan datang, untuk masa sekarang, marilah kita bertekad setelah berbuat jasa – jasa baik, “Semoga saya tidak berada di tempat kejadian saat bencana dan kondisi buruk lainnya terjadi.” Dengan demikian semoga kita senantiasa terhindar dari bencana dan malapetaka lainnya.
Lalu bagaimana kita seharusnya menyikapi kondisi baik yang kita terima dalam kelahiran sekarang? Kita seharusnya memanfaatkan kondisi baik yang kita terima dengan mengisi hidup kita dengan perbuatan baik dan mengembakannya serta menuntun diri maju dalam Buddha Dhamma, agar pada kelahiran mendatang kita tetap berada pada kondisi baik dan berbahagia, bahkan lebih baik dari sekarang.
SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATTA


Salam Metta,
Jayanto Wahyu Leman
Penulis


Selasa, 11 Mei 2010

Kalyanamitta, Perlukah “Memilikinya?”


“Tidak bergaul dengan orang yang tidak bijaksana
Bergaul dengan mereka yang bijaksana
Itulah berkah utama
Mangala Sutta

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, yang senantiasa membutuhkan manusia dan makhluk lain di alam sekitarnya. Untuk itu saya merasa perlu mengajak saudara – saudari untuk mengetahui lebih jauh mengenai cara menilai seorang sahabat apakah ia sahabat yang baik atau buruk. Mengingat manusia membutuhkan teman bicara yang baik dalam hidupnya. Dalam agama Buddha sahabat yang baik diistilahkan dengan kalyanamitta.
Saat seseorang dalam kondisi down, ia membutuhkan seorang sahabat yang mampu mendengarkan masalahnya dengan baik, memberikan nasehat dan solusi yang terbaik baginya dan juga memotivasinya agar tidak pesimis dan putus asa dalam menjalani kehidupan. Seorang sahabat yang baik biasanya juga dapat menumbuhkan rasa percaya diri kita sebagai sahabatnya.
Sang Buddha pernah memberikan kriteria sahabat yang baik yang dapat menuntun kita kearah yang  lebih baik dan maju dalam dhamma. Beberapa kriteria tersebut antara lain adalah; memiliki pandangan yang benar, mempunyai perilaku yang baik, ia datang pada saat kita membutuhkan kehadirannya, ia dapat menjaga rahasia kita sebagai sahabatnya, ia memberikan nasehat untuk kebaikkan kita dan ia bersimpati atas keberhasilan yang kita peroleh.
Pandangan (paradigma) adalah hal penting yang dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Jika seseorang memiliki pandangan yang salah, maka ia dapat memiliki mata pencarian yang salah atau mengambil keputusan yang salah atas masalah yang ia hadapi. Ia juga dapat mempengaruhi orang lain untuk berpandangan salah juga. Sebab itu Sang Buddha berpesan agar kita bergaul dengan orang bijaksana dan jangan bergaul pada orang yang tidak bijaksana. Maksud orang tidak bijaksana disini bukan orang yang bodoh, tetapi orang yang berpandangan salah. Sedangkan orang bijaksana adalah mereka yang memiliki pandangan benar sesuai dhamma. Jika kita memiliki sahabat yang berpandangan benar, saat kita menghadapi masalah berat yang tak dapat diselesaikan oleh kita sendiri, sahabat tersebut akan berupaya memberikan solusi atas masalah yang kita hadapi tersebut sesuai dengan dhamma. Sehingga masalah tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Sebaliknya jika sahabat kita memiliki pandangan salah, maka ia dapat memberikan solusi penyelesaian yang salah pula sehingga bukannya masalah kita terselesaikan, malah menimbulkan masalah baru yang lebih pelik.
Perilaku juga merupakan aspek penting yang perlu dinilai dengan hati – hati dari seorang sahabat, jika tidak, dapat berdampak serius. Sahabat yang baik seharusnya dapat melindungi harta benda milik sahabatnya. Ia juga harus mampu bersikap jujur dan terus terang terhadap kita sebagai sahabatnya. Namun memang setiap orang memiliki privasi yang harus kita hormati, khususnya  untuk hal – hal yang bersifat sangat pribadi. Satu hal yang patut kita ingat, bahwa kita tak dapat menuntut orang yang baru kita kenal untuk bercerita dan berbagi banyak hal kepada kita, karena biasanya seseorang tidak berani mengambil resiko pergaulan yang terlalu tinggi dengan menceritakan banyak hal dalam kehidupannya pada orang lain yang baru dikenalnya. Seseorang biasanya membutuhkan waktu kurang lebih 6 bulan sampai satu tahun untuk memulai persahabatan dengan orang lain. Ingatlah untuk tidak mudah percaya pada kata – kata orang lain meskipun ia adalah sahabat baik kita. Selalu berusaha untuk mencari tahu dari sumber lain yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya atau buktikanlah sendiri. Lihatlah perilakunya sehari – hari apakah ia dapat menjalankan pancasila Buddhis dengan baik dalam kehidupannya. Observasi dapat dilakukan selama tiga bulan jika kita bergaul intensif dengan orang tersebut, jika tidak, observasi dapat dilakukan selama satu hingga tiga tahun.
Kadang kala kita mengundang sahabat, kolega, atau relasi kita saat mengadakan pesta, jamuan makan atau acara reuni. Tentu banyak sahabat, kolega atau relasi kita yang menyempatkan diri datang ke acara yang kita adakan. Tetapi jika kita sedang berduka, tertimpa musibah, atau sakit biasanya hanya sahabat dekat kita yang datang menyempatkan diri datang mengunjungi kita. Bagaimana dengan yang lainnya? Mereka biasanya tidak hadir dengan berbagai macam alasan. Sahabat yang baik adalah mereka yang datang pada saat kita berduka, sedih dan membutuhkan dukungan moril, bukan hanya pada saat kita bersuka cita. Bahkan mungkin seorang kalyanamitta tidak dapat hadir saat kita bersuka cita, ia hanya mengirim sebuah pesan berisi ucapan selamat melalui layanan pesan singkat atau akun Facebook, tetapi ia selalu datang saat kita berduka dan membutuhkan kehadirannya.
Saat kita berada dalam kesulitan, terkadang kita perlu berbagi kepada sahabat. Saat berbagi, mungkin ada hal – hal yang sepatutnya tidak diceritakan kepada pihak – pihak lain yang tidak berkepentingan bahkan berbahaya bila jatuh pada pihak yang nakal. Sahabat yang baik akan menjaga semua hal yang patut dirahasiakan agar tidak bocor pada pihak lain.  Hal ini juga menuntut pelaksanaan sila seorang sahabat khususnya sila keempat, berkenaan dengan kebiasaan bergosip. Seorang sahabat baik harus mengendalikan ucapannya, menghindari diri dari kebiasaan bergosip agar rahasia kita tidak bocor.
Sahabat juga mempunyai peran untuk memotivasi bahkan menuntun kita ke arah lebih baik, ia seharusnya menunjukkan arah agar kita memiliki kemajuan dalam suatu bidang tertentu, bersedia membimbing kita dalam mencapai kemajuan tersebut dengan sabar. Tetapi sebagian orang mungkin berpikir, sungguh sangat sulit mencari kalyanamitta seperti ini. Memang semua ini tak luput dari pengaruh  kusala kamma vipaka yang ditanam oleh kita pada kelahiran yang lampau. Untuk diketahui bahwa tidak semua kriteria ini harus dipenuhi oleh seorang kalyanamitta. Pada kebanyakkan kasus, seorang kalyanamitta hanya dapat memenuhi satu atau dua kriteria saja, tidak mengapa, yang terpenting ia harus memiliki pandangan benar sesuai dhamma dan memiliki sila yang baik.
Kriteria terakhir yang akan kita bahas adalah seorang kalyanamitta harus mampu bersimpati dan turut berbahagia atas keberhasilan yang kita raih. Kebanyakkan orang, malah merasa iri bahkan ingin menghancurkan keberhasilan yang diraih oleh orang lain. Jika hal ini terjadi, akibatnya sungguh berbahaya, sebab itu, berhati – hatilah menilai dan memilih sahabat, jika kita salah dalam menilai dan menjatuhkan pilihan, kita dapat dikhianati dan tertipu oleh sahabat palsu.
Mengingat sungguh sangat sulit untuk menemukan sahabat baik nan sejati, maka amatlah beruntung jika kita telah memilikinya. Tak cukup sampai di situ, kitapun sudah selayaknya “menjaga” dan merawat hubungan kita dengan sahabat baik yang kita miliki. Bagaimana caranya? Kita harus berusaha untuk memenuhi kriteria sahabat yang baik terhadapnya. Jadi kita harus menjadi manusia yang aktif, tidak hanya pasif menerima pertolongannya saja. Fondasi utama dari hubungan persahabatan ini adalah sila dan samma dithi (pandangan benar). Persahabatan bisa runtuh dan hancur jika 2 fondasi utama ini tidak dijaga dengan baik oleh kedua belah pihak. Faktor lainnya adalah kekuatan kamma kolektif (bersama) antara kita dan sahabat kita tersebut. Kesimpulan akhirnya adalah marilah kita menjaga dan merawat hubungan baik kita dengan kalyanamitta yang kita punya dengan tidak melupakan 2 fondasi utama penopang persahabatan serta senantiasa menambah kamma baik agar persahabatan bertahan lebih lama. Sebab bagaimanapun juga peran seorang kalyanamitta amatlah diperlukan dalam kehidupan kita.  Tetapi jangan lupa, bahwa tidak ada yang kekal dialam semesta. Hubungan persahabatan kita hanya dapat bertahan hingga satu masa tertentu, karenannya, jangan terlalu  melekatinya. Berusahalah untuk selalu aktif bergaul dan mencari kalyanamitta  baru.
Link download:




Senin, 10 Mei 2010

Milikilah Rasa Puas Pada Diri Anda



Merasa Puas, Mudah Disokong
Tiada Sibuk, Sederhana Hidupnya
Tenang Inderanya, Berhati Hati
Tahu Malu, Tak Melekat Pada Keluarga (yang bersifat khusus/tertentu)
KARANĪYAMETTA  SUTTA


Tanpa disadari, manusia memiliki nafsu keinginan yang teramat besar. Ribuan bahkan jutaan keinginan kita ciptakan di setiap saat terus menerus silih berganti. Lambat laun jika kita tidak dapat mengendalikan nafsu keinginan tersebut, kita akan dikendalikan oleh nafsu keinginan. Akibatnya? Sudah tentu kita menjadi orang yang tak dapat mensyukuri keadaan bahkan menjadi manusia serakah dan tidak tahu diri. Maksudnya kita menjadi manusia yang tidak dapat mengukur antara kemampuan dan kondisi yang kita “miliki” dengan keinginan yang kita ingin capai. Kemampuan tak sebanding dengan keinginan. Jika nafsu keinginan itu terus diikuti, manusia akan kehilangan kebijaksanaan dan akal sehatnya. Demi mencapai keinginannya, apapun akan dilakukannya walau secara wajar ia tidak dapat mencapainya, ia akan berusaha mencapainya dengan cara yang tidak wajar dan salah.
                Banyak kasus dalam kehidupan sehari – hari yang dapat kita jadikan contoh mengenai hal ini. Tetapi bukan untuk ditiru tentunya. Ada sebagian orang, karena mereka ingin berhasil dalam usahanya maka mereka pergi ke tempat “kramat” lalu meminta “penglaris usaha” pada makhluk jahat tertentu. Makhluk jahat itu menyetujui, dengan satu syarat, meminta “tumbal” manusia. Jika orang itu menyetujui demi mendapat “penglaris usaha” maka baik secara langsung maupun tak langsung orang itu telah melanggar sila pertama Pancasila Buddhis, melakukan pembunuhan makhluk hidup apalagi manusia. Pada kasus lain seorang pegawai jika tak puas dengan gaji yang diperolehnya maka ia bisa saja melakukan tindakkan menyimpang penggelapan dana tertentu misalnya. Dalam kehidupan berumah tangga juga sama. Jika salah satu pihak tak dapat mengendalikan nafsu keinginannya, baik suami atau istri akan berakibat perselingkuhan dan merusak rumah tangga yang dibangun. Bahkan ada sebuah penelitian mengatakan bahwa perselingkuhan terjadi cukup banyak terjadi pada usia pasangan 40-50 tahunan yang mayoritas dilakukan oleh kaum suami yang tak puas terhadap istrinya.
                Ini sungguh memprihatinkan. Jika perceraian terjadi akibat perselingkuhan, disamping kita menyakiti perasaan pasangan kita, tanpa kita sadari anak – anak kita juga menderita bahkan terlantar karena ulah kita. Jadi kita membuat kamma buruk dobel. Betapa berat buah perbuatan buruk yang kita petik nantinya. Tentunya ini tidak akan terjadi jika kita dapat setidaknya mengendalikan nafsu keinginan yang kita miliki dan selalu berjalan sesuai dhamma. Kita seharusnya selalu sadar, mawas diri dan selalu bersyukur terhadap apa yang kita miliki dan kita capai saat ini. Jika hal ini kita lakukan, kecil kemungkinan kita menjadi serakah dan tak tahu diri. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah nafsu keinginan yang tak terkendali diantaranya:
ü  Mengerti dan pahamilah bahwa segala sesuatu yang Anda dapatkan tidak lain merupakan hasil dari perbuatan Anda sendiri baik di masa kini maupun kelahiran sebelumnya.
Yakinlah apa yang Anda dapat raih sekarang adalah hasil perbuatan Anda sendiri dan tak mungkin tertukar. Dengan demikian Anda akan merasa puas dan lega karena mengerti dan memahaminya semua itu merupakan “tanaman” Anda sendiri. Jika Anda kurang puas dengan apa yang Anda terima sekarang, perbaikkilah perbuatan Anda agar di masa datang Anda menikmati akibat yang lebih baik. Bukan malah melakukan cara yang salah dan tidak wajar yang tentunya menghasilkan akibat yang tidak baik lagi di masa datang.
ü  Yakinlah bahwa pelaksana sila (aturan kemoralan) akan mendapatkan kebahagiaan dan kekayaan duniawi dan memperoleh kemudahan dalam pencapaian Nibbana.
Dengan melaksanakan sila akan berakibat terlahir di alam surga, dengan melaksanakan sila akan berakibat diperolehnya kekayaan duniawi, dengan melaksanakan sila akan berakibat tercapainya Nibbana (kebebasan mutlak). Bila kita merenungkan kalimat – kalimat ini maka kita senantiasa termotivasi untuk menjaga sila kita sebaik mungkin. Meskipun perlu diketahui bahwa tercapainya Nibbana bukan hanya karena pelaksanaan sila, namun sila yang sempurna menjadi fondasi awal untuk mencapai Nibbana. Mengapa? Karena sila yang baik akan menunjang pencapaian konsentrasi yang amat dibutuhkan dalam meditasi pandangan terang untuk mencapai Nibbana.

ü  Laksanakanlah meditasi pandangan terang
Nah untuk yang satu ini, saya sarankan Anda untuk mengikuti kelas – kelas meditasi di vihara yang terdekat dari tempat tinggal Anda. Sebab meditasi pandangan terang ini amat sulit dilatih tanpa seorang tutor pembimbing meditasi. Meditasi pandangan terang ini sudah dibuktikan sendiri oleh Guru Agung kita dapat melenyapkan nafsu keinginan sehingga tercapailah tingkat – tingkat kesucian dan dapat merealisasi Nibbana. Hati – hati ada banyak sekali jenis praktek meditasi, bahkan ada yang dapat berdampak negatif bagi pelaksananya.

                Merasa puas berarti juga dapat menerima kondisi hidup apa adanya tanpa kegelisahan, keluh kesah dan muka yang masam. Menerima kondisi hidup dengan senang hati. Bagaimanapun juga kondisinya. Ini sangat sulit untuk dilakukan  bagi sebagian besar manusia. Tetapi jika dapat dilakukan maka manusia tersebut akan mengalami ketenangan dan kebahagiaan yang luar biasa tak tergoyahkan.
                Mudah disokong, berarti kita mudah dilayani oleh orang lain, tidak banyak menuntut orang lain, dapat memaklumi kekurangan dari kondisi yang serba tidak sempurna. Jauh dari sifat perfeksionisme, tidak menuntut fasilitas ekstra bahkan memberikan fasilitas ekstra tesebut jika ia punya pada orang lain yang lebih membutuhkan fasilitas ekstra tersebut.
                Tiada sibuk, sederhana hidupnya. Tenang inderanya, berhati –hati, tahu malu, tak melekat pada keluarga (yang bersifat khusus). Orang yang tak terlalu sibuk (tetapi bukan orang yang tak punya kesibukan), biasanya lebih sabar menghadapi sesuatu hal. Hidup sederhana, tidak berlebihan dan berhura – hura (tetapi bukan hidup dengan kekikiran), tenang inderanya dalam arti selalu menjaga inderanya dengan penuh kewaspadaan, selalu sadar, mencegah kekhilafan, berhati – hati selalu menjaga tindak – tanduk dan prilakunya agar tidak menyimpang dari kebenaran. Memiliki rasa malu dan takut untuk berbuat jahat. Dan tidak melekat pada keluarga tertentu, maksudnya tidak melakukan diskriminasi terhadap keluarga tertentu hanya karena keluarga tersebut memberi sesuatu yang spesial kepadanya sehingga ia lebih mengistimewakan keluarga tersebut dibanding dengan keluarga lain. Aturan ini sebenarnya diutamakan untuk para bhikkhu/bhikkhuni agar tak melekat dan lebih mengutamakan suatu keluarga dibandingkan keluarga/umat lain. Contoh idealnya adalah para bhikkhu sangha.
                Setidaknya kita berusaha untuk mengendalikan nafsu keinginan dengan berupaya menjaga tindak tanduk kita agar sesuai Pancasila Buddhis. Hal berikutnya adalah berusaha memahami dan mengerti bahwa segala sesuatu adalah hasil perbuatan kita sendiri baik di kelahiran lampau maupun kelahiran kita yang sekarang.
                Inilah akhir dari artikel dhamma yang saya tulis. Semoga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari – hari dan dapat menambah kebijaksanaan dan pemahaman kita terhadap Buddha – Dhamma.

Link download artikel:
Jayanto Wahyu Leman
Penulis